Laman

Kamis, 06 Mei 2010

Aksesbilitas Cerpen Moksa

hmmmmm salah satu analisis saya tentang sebuah cerpen berjudul "Moksa" karya Putu Wijaya...


1.Pengantar
“Moksa” adalah salah satu cerpen karya Putu Wijaya. Cerpen ini bercerita tentang seorang tokoh dokter Subianto yang berhati besar. Tokoh ini diceritakan sebagai seorang dokter yang baik dan sabar. Ia memiliki istri yang juga baik dan sabar, ibu Subianto. Sepasang suami istri ini memiliki seorang anak yang bernama Moksa. Moksa adalah seorang mahasiswa dan ia indekos di daerah Depok.
Cerita berawal ketika Moksa menelepon ayahnya yang sedang memeriksa salah satu pasiennya. Dalam percakapan di telepon, Moksa mengatakan bahwa ia tidak bisa pulang malam itu. Sang ayah sedikit membujuk Moksa untuk pulang karena ibunya sangat rindu padanya. Bujukan dokter Subianto tidak berhasil dan Moksa tetap pulang besok pagi. Saat dokter Subianto menutup teleponnya, istrinya datang karena mendengar percakapan itu. Ibu Subianto sangat berharap anaknya mengabarkan akan pulang malam ini. Ayah mengabarkan berita yang sebenarnya bahwa Moksa tidak bisa pulang malam ini. Ayah merasa takut istrinya akan sedih namun dugaannya keliru, istrinya justru tersenyum senang. Hal tersebut jelas terlihat pada dialog sebagai berikut:
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."

Cerita berlanjut ketika seorang pasien terakhir masuk ke dalam ruang praktek. Setelah diperiksa dengan teliti Dokter Subianto menemukan benjolan merah di dada kanannya dan ia memperkirakan bahwa sakit yang di derita si pasien adalah tumor lemak. Pasien sangat terkejut dengan analisa dokter Subianto. Pasien menjadi lemas dan pucat. Ia mengaku tidak memiliki biaya untuk membayar dokter dan menebus resepnya. Kemudian ia bercerita mengapa ia tidak dapat membayar semuanya. Cerita yang diungkapkan si pasien sebagai berikut:
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"

Dokter Subianto sangat terkejut mendengar cerita dari pasien. Kemudian ia memberikan uang untuk mengganti kerugian pasiennya sekaligus meminta maaf atas apa yang telah diperbuat oleh anaknya. Setelah urusan dengan pasiennya itu. Dokter Subianto bergegas menjemput anaknya yang indekos di depok itu. Ia mengajak anaknya pulang dengan baik agar permasalahan yang telah terjadi dapat diselesaikan di rumah. Namun di tengah perjalannan dokter Subianto berubah pikiran. Ia kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan pasiennya, juga apa yang telah diceritakan ibunya. Moksa yang mendengar ucapan ayahnya terkejut. Ia kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada ayahnya. Dokter Subianto kembali terkejut. Ia merasa telah ditipu oleh pasiennya itu. Amarah yang semula tertuju pada anaknya kini berbalik pada pasien itu dan juga dirinya sendiri karena ia mudah tertipu begitu saja.
Setiap kali pak Subianto memendam amarahnya, ia akan menuju ruang studinya untuk merenungkan apa yang sebenarnya terjadi, Oleh karena ia sangat kelelahan ia pun tertidur sampai istrinya membangunkan kerena sudah siang. Ketika sang istri membangunkanya ternyata Moksa sudah menunggu untuk berbicara serius dengannya. Moksa ingin memastikan bahwa ayahnya masih percaya dengan apa yang Moksa ceritakan. Dan ayahnya begitu mempercayainya. Moksa yang sebenarnya tidak berkata jujur itu pun menangis. Ia merasa bersalah karena telah membohongi orang tuanya. Moksa kemudian berjanji kan menjaga kepercayaan orang tuanya dan tak akan mengulangi perbuatanya. Moksa kembali menangis sambil berkata bahwa ia akan berubah menjadi lebih baik. Setelah mengatakan itu Moksa buru-buru pergi untuk kembali ke kos-kosannya. Ibunya masuk ke dalam ruang studi pak Subianto dengan wajah yang bingung sambik memberikan sebungkus barang yang ditinggalkan Moksa di kamar mandi. Pak Subianto sangat terkejut dengan apa yang ditemukan istrinya. Barang jahanam!
Pak Subianto membiarkan anaknya pergi walaupun istrinya memprotes tindakkannya. Bu Subianto meresa anaknya sudah parah. Namun Pak Subianto ingin memberikan kepercayaan untuk anaknya. Dengan kepercayaan Moksa dapat melawan semua itu dan kepercayaan itulah yang akan membantunya menyelesaikan persoalannya.



2.Keanekaragaman Perspektif
Pada karya-karya Putu Wijaya banyak yang mengangkat tema-tema yang menunjukan ciri-ciri modernisasi yang kuat. Dalam mengangkat tema-tema epistemologis, cerpen “Moksa” menggunakan sarana keanekaragaman perspektif. Sarana ini digunakan pada dua level. Level yang pertama terjadi pada dialog antara ayah dan anak. Level kedua terjadi pada dialog antara ayah dan ibu. Ketiga tokoh ini mempunyai perspektif yang berbada-beda.
2.1Keanekaragaman Perspektif mengenai Nilai Kebanggaan
Seorang ayah dan ibu sedang berbicara tentang ankanya yang telah melakukan sesuatu. Sebagai seorang Ayah, pak Subianto ingin anaknya menjadi anak yang sangat dibanggakan. Dalm hal ini, pak Subianto memiliki perspektif berbeda dengan istrinya mengenai hal apa yang dapat dilakukan anaknya sehingga mereka bangga. Pak Subianto tidak setuju jika anaknya mengamen untuk mendapatkan sejumlah uang, sedangkan Bu Subiamto sangat bangga jika anaknya bisa mendapatkan uang dengan keringatnya sendiri. Ngamen bukanlah hal yang buruk. Bu Subianto mengatkan yang penting pekerjaan itu halal dan tidak melanggar hukum. Hal itu tampak pada dialog keduanya.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.

2.2Keanekaragaman Perspektif mengenai Porsi Cinta Anak Kepada Orang Tua
Perbedaan perspektif mengenai porsi cinta anak kepada orang tuanya juga terjadi antara bapak dan ibu Subianto. Mereka berbeda perspektif cinta anaknya, Moksa. Pak Subianto merasa cinta anaknya lebih besar kepada ibunya. Ia membenarkan kata orang bahwa cinta seorang anak lebih besar kepada ibunya daripada ayahnya. Hal itu dapat dilihat pada dialog sebagai berikut:
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."

2.3Keanekaragaman Perspektif mengenai Nilai Kepercayaan
Perspektif mengenai nilai kepercayaan terjadi di akhir cerita. Pandangan seorang Ayah yang berbeda dengan anaknya. Kepercayaan adalah keyakinan akan sesuatu yang dianggap sesuatu itu benar. Dalam cerpen ini terjadi perbedaan pandangan tentang nilai kepercayaan. Hal ini terjadi di akhir cerita yang menjadi klimaks. Dokter Subianto yang sedang berusaha mengendalikan amarahnya, Moksa menemuinya untuk menanyakan apakah ayahnya marah dan masih percaya padanya. Sang ayah menjawab tidak. Namun jawaban itu tidak membuat hati Moksa lega, justru kebalikannya. Moksa menangis seketika dan ia kembali bertanya. Jawaban yang diberikan ayahnya tetap sama. Moksa mengaku malu, dan ia meminta maaf karena ia tidak bias menjaga kepercayaan sang ayah. Moksa berpikir bahwa ayahnya tidak akan percaya lagi padanya, namun ternyata Moksa keliru. Itulah yang membuat Moksa malu terhadap ayahnya. Kemudian Moksa meminta ayahnya memberikan kesempatan dan kepercayaan bahwa ia akan berubah menjadi lebih baik. Pak Subianto setuju dengan hal itu.
Dokter Subianto mempunyai perbadaan pandangan tentang nilai kepercayaan dengan istrinya. Ibu Subianto tidak ingin anaknya diberikan kepercayaan karena ia takut anaknya menjadi anak yang lebih parah kenakalannya. Pak Subianto tetap akan memberikan anaknya kebebasan dan ia percaya anakanya dapat melewati persoalan dalam hidupnya dengan kepercayayan itu. Perdebatan mengenai perbadaan ini terjadi pada dialog sebagai berikut:
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!" Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!" Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan." Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya.

3.Tema Aksesbilitas
Perbedaan perspektif mengenai nilai kebanggaan dan porsi cinta anak kepada orang tua serta nilai kepercayaan merupakan proposisi-proposisi umum yang bersifat abstrak. Proposisi ini dapat dikaitkan dengan proposisi suatu konteks tertentu. Misalnya hubungan proposisi antara bapak dan ibu Subianto bersifat saling menyangkal antara keduanya. Hubungan itu dapat terbangun karena proposisi keduanya dapat diakses oleh tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Uraian di atas, mempunyai ciri tema aksesbilitas. Cerpen ini mengangkat tema-tema yang dapat diakses atau dipahami oleh pembaca. Cerpen ini dapat dipahami dengan baik oleh pembaca kerena menggunakan setting, tema dan konflik yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan seorang dokter yang mempunyai anak dan istri. Sang anak yang kuliah dan indekost di daerah Depok menjadi anak yang nakal. Mengangkat konflik tentang kepercayaan seoarang ayah kepada anaknya agar anaknya dapat terdidik menjadi anak yang mandiri ketika jauh dari orang tuanya. Hal-hal tersebut banyak terjadi di dalam kehidupan nyata.
Perspektif yang berbeda antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain mengalami benturan ketika diketahui bahwa dokter Subianto telah ditipu oleh si pasien. Tersingkapnya penipuan tersebut karena Moksa telah menceritakan tentang kejadian yang ia alami ketika di dalam bus.
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
Rehabilitas pengakuan Moksa kepada ayahnya itu kemudian dilanjutkan dengan proses sirkulasi dan transmisi pengetahuan mengenai terjadinya penipuan oleh pasien yang datang ke rumah dokter Subianto.
Dalam percakapan antara dokter Subianto dan Moksa di dalam mobil inilah tersingkap kekecewaan dokter Subianto bahwa dirinya ternyata tidak cerdik sehingga ia mudah ditipu mentah-mentah.
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil
."Kenapa Pak? Ngantuk?" Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?" Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati." Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.

4.Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa cerpen “Moksa” telah mengangkat tema-tema aksesbilitas mengenai hakekat kehidupan dan tema-tema aksesbilitas, reabilitas, sirkulasi dan transmisi pengetahuan mengenai nilai kepercayaan dalam mendidik anaknya agar dapat menyelesaikan masalahnya dan lebih bertanggungjawab atas perbuatan yang ia lakukan sendiri. Bukan maaf yang dibutuhkan dalam menyelasaikan masalah tapi diberinya kesempatan dan kepercayaan yang mampu menyelesaikan. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen ini masuk dalam kategori sebagai cerpen modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasi muntahan komen-nya yaaaa...:D